Asa Dalam Dua Garis Merah


Oleh
Asa Dalam Dua Garis Merah

 Di sudut kamar ini aku berkisah tentang sebuah masa. Tentang sebuah waktu yang sesaat merenggut mimpi-mimpi indah. Membiarkan jemari ini menari di atas keyboard laptop, menguntai huruf demi huruf, berkelakar mengenai pelajaran hidup…


***

Clara terduduk lemas di sudut kamar mandi apartemennya. Kepalanya tertunduk diam membiarkan air shower mengguyurnya bertubi-tubi. Pening di kepalanya tak ia rasakan, dinginnya air berusaha dilawannya. Ia masih bertahan berada di kamar mandi itu sejak 1 jam yang lalu. 

Di sela guyuran air shower yang tanpa henti, sesekali dilihatnya testpack di genggaman kedua tangannya. Matanya terpejam sesaat, kemudian dibukanya kembali. Dilihatnya sekali testpack itu. berharap salah satu garisnya menghilang. Ternyata tidak. Dua garis merah itu masih bertahan, sangat jelas terpampang oleh mata.

Tangis itu meledak, tetesan air matanya bersaing dengan derasnya guyuran air shower. Sedu sedannya samar-samar terdengar memenuhi kamar mandi yang tertutup rapat itu. Clara melipat kedua kakinya menyentuh tubuh. Kepalanya semakin tertunduk, bersembunyi di balik lipatan kaki dan tangannya. Tubuhnya bergetar, pertanda bahwa tangisnya semakin menjadi.

***

“..aku berharap ini mimpi. Mimpi buruk yang cepat atau lambat pasti akan membangunkanku. Lalu sampai kapan? Kapan aku terbangun? Mengapa sampai detik ini aku masih terlelap? Aku ingin segera membuka mata kemudian melakukan rutinitasku setiap hari. Aku butuh siapapun, tak hanya Tuhan, untuk sekedar membangunkanku..”
Sebuah ungkapan yang diposting Clara pada salah satu akun jejaring media sosialnya. Sebuah ungkapan yang mewakili beribu rasa yang berkecamuk dalam dirinya saat itu. Menjadi bentuk pengaduan hati seorang gadis yang tak terungkap. 

Positif hamil di luar nikah pada usia yang baru menginjak 21 tahun membuat Clara seperti hidup sebagai orang lain. Ini bukan hidupnya, ingin sekali memunafikkan diri bahwa itu bukan tubuhnya, bukan dirinya. Ingin sekali ia berlari jauh, menghindar dari sebuah realita pahit seumur hidupnya. Sayangnya, ini bukan jalan yang bisa ia tempuh dengan cara berlari, berjalan, atau bahkan merangkak. Namun, ini adalah sebuah fase nyata yang mau tak mau harus ia hadapi dan lewati.

Dibukanya galeri foto yang menyimpan sejuta kenangan antara ia dengan pria pujaan hatinya, Emile. Setiap kali Clara membuka foto-foto itu ia merasa seperti tak ada lagi kebahagiaan yang harus ia kejar. Karena ia merasa sudah sangat bahagia dengan kekasihnya itu. Namun, entah mengapa, saat ini, detik ini, foto-foto itu membuatnya sangat muak. Beruntung itu hanyalah sebuah moment dalam file. Akan menjadi robekan-robekan kecil atau bahkan abu sisa pembakaran jika itu berupa lembaran foto.

“oh, Tuhan…”, Clara menjatuhkan kepalanya di atas papan keyboard laptop. Menelungkupkan wajahnya, membiarkan tetesan bulir bening membasahi laptop kesayangannya. “aku menyesal…”, suaranya lirih, hampir tak terdengar. Air matanya deras membasah. Mengalir begitu saja, berharap dapat mengurangi pedih yang menyesakkan rongga-rongga hati dan pikirannya.

Penyesalan yang selalu menjadi peran akhir dalam sebuah drama hidup. Peran yang tak akan pernah muncul sebagai introduktor. Akan selalu berada di ujung belakang menanti para insan yang datang menghampirinya dengan membawa sejuta kebodohan.

***

“apa yang kau rasakan saat ini?”, sebuah kalimat tanya yang terlontar cukup santai dari bibir Clara kala ia duduk berhadapan dengan Emile di sebuah caffe tengah kota. Di depannya sebuah meja dengan dua cangkir kopi hitam dan sebatang testpack. 

Pria itu hanya diam, tak ada sepatah kata yang keluar. Ditatapnya lekat dua garis pada testpack yang tergeletak di hadapannya. Berkecamuk luar biasa hingga tak ada satupun kalimat yang mampu ia katakan pada wanita tercintanya. Mata Emile berpindah tatapan, memandang wajah kekasihnya yang terlihat pucat. Sedikit warna hitam di kantung matanya.

“mungkin seperti yang kau rasakan pertama kali”, tatapan Emile kosong. Seperti suara yang keluar dari bibir mayat hidup. 

“tapi caffe ini nyaman. Hanya AC yang sedikit membuatmu dingin. Bukan guyuran air shower kamar mandi yang hampir 2 jam membuatmu menggigil”, Clara tersenyum. Senyum palsu nan sinis. Mengungkap kepedihannya kala dua garis merah itu dilihatnya pertama kali.

“aku akan bertanggung jawab. Kau harus percaya itu”, Emile meraih kedua tangan Clara. Digenggamnya erat menunjukkan bertebing-tebing keyakinan yang seolah tak akan pernah runtuh. 

“ini bukan tentang kau bersedia bertanggung jawab atau tidak. Bukan juga apakah kau masih mencintaiku atau tidak. Tapi ini persoalan jiwa”, Clara melepaskan genggaman tangan Emile. “aku tak butuh itu semua. Termasuk anak ini. Aku sama sekali tak menginginkannya”

 “tapi kita melakukannya atas dasar cinta”, Emile menyahut cepat. 

“cinta? ya, hanya cinta. Tak lebih. Karena kenyataannya saat ini aku masih cinta. Tapi akal sehatku tak bisa menerima kehadiran anak ini”, ditatapnya tajam mata Emile. Beberapa menit berlalu, sepasang kekasih itu saling membisu. Emile menyulut sepuntung rokok mentholnya. Dihisapnya rokok itu dalam-dalam. Hembusannya menghasilkan gumpalan asap yang mengepul, membatasi jarak pandang keduanya.

“lalu maumu apa?”, tanya Emile. Clara menghempaskan tubuhnya pada sandaran kursi, menjauhi kepulan asap rokok yang mengusik pernafasannya. Sungguh, pertanyaan itu membuatnya jengah. Pertanyaan yang sudah diterkanya. Pertanyaan andalan setiap lelaki jika kehabisan akal untuk sekedar mengerti. 

 “aku menyesal..”, Clara menenggak sedikit kopi hitamnya yang mulai dingin. Disandarkannya kembali tubuh itu pada sandaran kursi.

 “sudah terlanjur. Tak perlu kau katakan seperti itu”, sekali lagi Emile manyahut cepat.

“bukan. Bukan tentang itu. Aku tak menyesal melakukan itu. Kau sendiri yang mengatakan atas dasar cinta. Tapi aku menyesal karena telah mengajakmu bertemu sore ini. Bertemu dan tak ada pikiran berbobot yang kudapat darimu”, Clara meraih tas dan beranjak pergi tanpa sempat membiarkan Emile merespon kekecewaan hatinya.

***

Clara membiarkan tubuhnya terendam dalam air bath up. Hanya kepalanya saja yang masih terlihat bersandar pada tepian. Pakaiannya masih lengkap, mengenakan jumpsuit jeans lengan pendeknya. Berulangkali ditatapnya testpack yang ia letakkan di samping bath up. Masih jua tak dilihatnya garis merah itu hilang. Masih sama. Matanya menerawang jauh ke langit-langit kamar mandi. 

Berjam-jam berlalu, hingga jam weker di kamar apartement itu berbunyi berulangkali, sang pemilik tak kunjung mematikannya. Semalaman ranjang tidur itu tak berpenghuni. Clara menghabiskan malamnya di bath up kamar mandi yang telah penuh dengan air berwarna merah anyir. Sebilah cutter kecil dengan goresan darah menempel di ujungnya tergeletak begitu saja di samping sebatang testpack bergaris merah…


***

Rasa nyeri dan perih masih mendera di perut. Sisa senduku semalam kala suara membisik dan membuatku berubah pikiran, bangkit dari bed hitam itu dan berlari meninggalkan dokter aborsi yang beberapa menit lagi siap menyuntikkan bius ajal itu. 

Di layar laptop ini kutulis kebodohan-kebodohan yang merasuk, menjadi satu dalam jiwa, raga dan pikiranku. Kekonyolan yang tak patut dimiliki oleh para dewasa. 

Kuusap perlahan perut yang mulai terlihat membuncit ini. Didalamnya aku menaruh asa dan menghapus segala sesal untuk mengatakan bahwa, aku siap…

#TAMAT#

No comments for "Asa Dalam Dua Garis Merah"


=> CLOSE ADS KLIK 2X <=